Jumat, 15 Juli 2011

MEDAN KOTA YANG RUNYAM

Siapa yang tidak tahu kota Medan. Kota yang di “ciptakan” guru Patimpus kini sudah beranjak menua. Namun tidak ada satupun dari kita yang meniru teladan “guru” kita. Guru Patimpus yang selalu menyembuhkan penyakit, justru tidak mampu menyembuhkan penyakit masyarakat kota Medan. Kapankah kita bisa belajar dari guru kita? Atau maukah kita belajar dari guru kita? Pertanyaan yang harus kita renungkan dan tidak membutuhkan jawaban. Tapi tindakan.

Selamat ulang tahun Medan. Horas, Mejuah-juah, Zahobu, dan lain-lain, menunjukkan bahwa kota Medan merupakan campuran dari berbagai suku yang ada di wilayah Sumatera Utara. Keberanekaragaman yang seharusnya mampu menunjukkan keindahan, justru menjadi pemicu dendam dan konflik antar suku dan agama. Bukankah guru Patimpus menyembuhkan penyakit seseorang tanpa membedakan suku dan agama pasiennya? Mengapa kita penerus sang “guru” tidak mampu meniru suri teladan yang telah membesarkan Kota Medan? Ataukah kita sudah tenggelam dalam kepentingan pribadi yang mengatasnamakan kota” Metropolitan”?

Runyam
Medan kini sudah menjadi kota yang runyam. Runyam karena masalah-masalah yang terjadi tidak dapat diatasi oleh masyarakat kita sendiri. Egois, sukuis, agamais, adalah akar masalah utama. Dan korupsi membayangi nasib anak cucu kita di masa mendatang.
Tanpa kita sadari, kita telah membunuh teman-teman anak cucu kita. Yang seyogianya menjadi tempat curahan hati, teman bermain, ataupun yang akan menjadi jodoh anak cucu kita dikemudian hari. Masih pantaskah kita tersenyum pada anak cucu kita? Masih pantaskah menjadi orang tua bagi anak cucu kita?

Masa depan
Jangan Tanya masa depan, jika kita tidak merubah sikap kita mulai dari sekarang. Mungkin sudah terlambat untuk berubah, tapi masih ada waktu yang diberikan Tuhan kepada kita untuk berbuat sesuatu yang “kecil”, yang tidak berguna bagi kita, namun berguna bagi cucu kita.
Guru Patimpus telah memberikan “sumbangan” terbesar untuk kita, anak cucunya. Sudah saatnya kita membalas jasa Guru kita, kepada anak cucu kita, anak cucu saudara-saudara kita, baik itu berbeda organisasi, suku, ataupun agama. Jika kita mampu melakukannya, Medan tidak akan menjadi kota Metropolitan, tetapi menjadi Medan Kota Megapolitan. Medan dengan segala kebesaran hati menerima segala perbedaan menjadi satu kesatuan. Begitu indahnya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar